oleh: Syahrullah Iskandar (Pakar Tafsir Alquran dari PP Bayt Alquran-Pusat Studi Alquran, anggota Komisi Dakwah MUI pusat, dan Wasekjen Pengurus Besar Darud Da’wah wal Irsyad).
Kata ‘iyd’ adalah derivasi dari kata ‘uwd’ yang berarti kembali dan berulang. Asalnya dari kata ‘iwd, kemudian huruf waw diganti huruf ya’. Ini serupa dengan kata mizan atau miqat yang asalnya dari kata wazn dan waqt. Bentuk jamaknya a’yad.
Momentum ‘Iydul Fitri bertepatan dengan awal bulan Syawwal, setelah sebulan lamanya menjalani Ramadhan.
Bulan Ramadhan dinamai demikian karena menghancurkan dosa (yarmadh al-dzhunub). Tentu saja jika dijalani dengan penuh keikhlasan dengan aneka kebaikan di dalamnya, baik yang sifatnya mahdhah maupun ghayru mahdhah.
Bulan Ramadhan menjadi bulan penempaan diri kita menjadi insan yang bersih secara spiritual dan peka terhadap sesama. Substansi ibadah puasa adalah pengendalian diri. Kekuatan amarah dan nafsu dapat dikendalikan dan diseimbangkan kebutuhannya dengan baik dalam diri seseorang sehingga kebahagiaan diraih.
Kekuatan amarah dan nafsu ini bagian integral dalam diri seorang manusia yang perlu dipenuhi haknya, sehingga kemanusiaan kita tetap proporsional. Jika berlebihan meladeninya, perbuatan negatif bisa muncul dari diri kita. Sebaliknya, jika kurang dipenuhi haknya juga mengakibatkan sifat buruk bagi diri kita.
Aneka ritual yang sifatnya individu dan sosial merajut kebersamaan dengan keluarga dan banyak orang. Ramadhan melatih kedisiplinan seseorang menjadi pribadi yang tangguh dan bertanggung jawab.
Dengan aneka keutamaan dalam Ramadhan buat umat Islam, Kita mestinya mengoptimalkannya dengan baik. Di samping itu, kita jadikan sebagai bekal buat menempuh bulan-bulan berikutnya untuk menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu, Ramadhan mestinya kita posisikan juga bak handphone yang lagi di-charger agar baterainya terisi dan mampu digunakan setelahnya.
Ramadhan hanya sebulan, tetapi implikasinya harus terpatri di bulan-bulan setelahnya. Justru, berkah Ramadhan bagi seseorang akan lebih nyata terlihat di bulan-bulan setelahnya. Kesalehan individu semakin meningkat secara kualitas dan kuantitas, demikian halnya kesalehan sosial semakin menaik dan berefek kebaikannya pada banyak orang.
Orang berzakat fitrah sebagai kewajiban khusus di bulan Ramadhan mestinya dimaknai sebagai bentuk ketaatan dan menumbuhkan kepekaan sosial. Secara materi, nilainya tidak seberapa, tetapi nilai religiousnya sangat dalam, yaitu kemampuan seseorang berbagi kepada sesama yang tergolong mustahiq.
Selanjutnya orang berlebaran ‘Iydul Fitri mengandung makna kembali kepada kesucian. Ia mengandung makna filosofis sebagai kembalinya nilai-nilai kemanusiaan dan kesucian dalam sanubari seorang Muslim yang menyertai kesehariannya.
Seseorang yang beridul fitri berarti menjadi pribadi cerdas. Tetapi kecerdasan yang dimaksud adalah kemampuan menguasai dirinya dan senantiasa berbuat untuk kepentingan ukhrawinya. Perbuatannya selalu ada pertimbangan ukhrawi, sehingga lebih terhindar dari merugikan diri dan orang lain.
Bertakbir memuji keesaan dan keagungan Allah SWT seiring masuknya malam lebaran adalah syiar yang dianjurkan.
Alquran surat Al-Baqarah: 185 yang menyebut “hendaklah engkau mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu”
Mengindikasikan bahwa pengagungan Allah Swt selain karena memang pantas diagungkan juga karena hidayah-nya. Ramadhan adalah bulan yang dilimpahkan aneka keistimewaan kepada umat Islam yang bermuara peningkatan ketakwaan kita kepada-Nya. Penghujungnya direspons dengan takbir sebagai tanda kesyukuran.
Lafal takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil membasahi bibir, memenuhi hati, dan menghiasi gerakan fisik kita merupakan bentuk praktis di setiap kaum beriman. Meski tidak harus pawai, berkumpul, ataupun dengan pengeras suara yang berlebihan, bertakbir sendiri-sendiri tidak kalah khidmatnya. Bertakbir identik dengan perendahan hati di hadapan Allah, bukan kesombongan terhadap orang lain. Inilah bedanya takbir dalam nuansa agama dibandingkan takbir karena motif kepentingan duniawi.
Salah satu ungkapan yang dinisbahkan kepada Ibn ‘Abbas menyebut bahwa bahwa “Orang yang berpuasa setelah Ramadhan bak orang yang kembali (al-karr) setelah melarikan diri (al-farr)” (Latha’if al-Ma’arif/391).
Disebut “melarikan diri” karena saat berpuasa Ramadhan suasana batin seperti lagi berperang mengekang nafsu. Saat berlebaran, kita terlarang berpuasa agar dapat mensyiarkannya dengan penuh kegembiraan. Ini pertanda bahwa keberlanjutan sebuah amalan Ramadhan di luar bulan suci itu adalah sebuah keniscayaan. Tentu saja sesuai konteksnya.