Muhammad Sang Rasul

Bagikan Manfaat

Oleh: Abdul Muid Nawawi

Hadis yang sangat masyhur dari Sayyidatuna Aisyah ra menyebutkan Kaana khuluquhuu Al-Qur’aan yang diartikan Pribadi Nabi Muhammad Saw adalah Al-Qur’an. Kata khuluq memang bisa dirtikan akhlak, tetapi selain itu, bisa diartikan penciptaan karena ada hubungan kata bahasa Arab khalaqa. Jadi, arti yang pas adalah pribadi. Kata pribadi bisa berarti fisik, bisa psikis, dan bisa pula spiritual, sedangkan akhlak umumnya lebih dipahami sebagai tingkah laku.

Read More

Pernyataan Sayyidatuna Aisyah ra adalah pernyataan yang sangat personal dari seorang yang secara personal sangat dekat dengan Nabi Muhammad Saw sehingga pernyataan tersebut sangat kemprehensif sekaligus sangat representatif.

Pengaitan Nabi Muhammad Saw dengan Al-Qur’an secara sangat intim sepertinya tidak terjadi pada ungkapan-ungkapan lain dan hanya terjadi pada ungkapan dari Sayyidatuna Aisyah ra di atas. Kenyataan tersebut menarik bagi sebagian kalangan umat Islam, termasuk kalangan pemikir tasawwuf sehingga muncul pemahaman bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Al-Qur’an atau Al-Qur’an adalah Nabi Muhammad Saw. 

Tentu saja tidak semua kalangan sepakat dengan kalimat “Nabi Muhammad Saw adalah Al-Qur’an atau Al-Qur’an adalah Nabi Muhammad Saw” sehingga, sepertinya, salah satu solusi untuk itu adalah mengartikan khuluq dengan akhlak, bukan pribadi. Artinya, perbedaan pemaknaan khuluq dengan akhlak dengan pribadibukan sekadar perbedaan pilihan kata tetapi di sana ada pemahaman yang hendak disampaikan.

Dipahami bersama bahwa Nabi Muhammad Saw adalah rasul sedangkan Al-Qur’an adalah risalah. Namun, apa sesungguhnya perbedaan antara rasuul dengan risaalah. Keduanya berasal dari akar kata yang sama yaitu kata yang terdiri dari tiga huruf yaitu raa’ – siin – laam. Pada dasarnya, keduanya berarti sama yaitu utusan atau perwakilan atau sesuatu yang dikirim. Karena itulah surat di dalam bahasa Arab disebut risaalahkarena itu adalah sesuatu yang dikirim. 

Persoalannya, umumnya dipahami bahwa Al-Qur’an adalah semacam surat yang dikirim oleh Allah SWT kepada manusia sedangkan Rasulullah Saw hanyalah pembawa surat itu. Tentu saja tukang pos hanyalah pembawa sebuah surat dan surat itulah sesungguhnya yang dikirim. Tukang pos bukan orang yang dikirim dan sama sekali tidak ada keterkaitan intim antara tukang pos dengan surat yang dibawanya. Dalam hal ini, sangat berbeda dengan Nabi Muhammad Saw dan Al-Qur’an. Keduanya adalah hal yang dikirim oleh Allah SWT karena Nabi Muhammad Saw adalah rasuul dan Al-Qur’an adalah risaalah. Tujuan pengutusan keduanya adalah jelas yaitu untuk menjaga doktrin Tawhiid

Doktrin Tawhiid memang tidak menerima tawar-menawar. Hadirnya rasuul dan risaalah, selain untuk menjaga doktrin Tawhiid juga sebagai pelaksanaan dari doktrin Tawhiid itu sendiri di saat bersamaan. Begini penjelasannya. Pengutusan Nabi Muhammad Saw dan Al-Qur’an adalah sebentuk pengakuan bahwa kehidupan manusia di dunia itu sangat penting dan tidak kalah pentingnya dengan kehidupan manusia di akhirat. Karena itulah yang diutus bukan hanya Al-Qur’an sebagai benar-benar kiriman dan memang berasal dari Alam Sana dan bukan alam sini, tetapi diutus pula Nabi Muhammad Saw yang benar-benar orang berasal dari alam sini. 

Dengan penggambaraan di atas, dipahami bahwa Tawhiid bukan hanya Keesaan Ilahi, tetapi juga kesatuan relasi antara Dunia dan Akhirat. Jadi, Tawhiid bukan hanya berarti Keesaan, tetapi juga berarti Keseluruhan. Membagi-bagi sesuatu menjadi terbelah bahkan terpisah satu sama lain bertentangan dengan prinsip Keesaan karena jika sudah terbagi, maka berarti tidak lagi Esa. Meskipun kadang yang dianggap tidak terbagi adalah Tuhan itu sendiri, tetapi masih ada eksistensi lain selain Tuhan, maka itu sesungguhnya tidak Tawhiidkarena ada yang setara dengan Tuhan. Karena itulah, Keesaan dengan Keseluruhan tidak bisa dipisahkan.

Perumpamaan relasi antara Keesaan dengan Keseluruhan bisa dalam bentuk relasi antara samudera, gelombang, pantai, dan daratan. Asal dari segalanya adalah samudera, tetapi tanpa daratan, tidak akan ada pantai dan apalah arti samudera tanpa pantai. Meski semua berasal dari samudera, tetapi samudera tetap setia menyapa daratan dengan gelombang-gelombangnya di pantai. Meski tidak pernah henti menyapa, setiap gelombang pasti akan surut kembali ke samudera. Samudera adalah seumpama akhirat dan daratan adalah permisalan dunia. Daratan itu penting dan tidak mungkin diabaikan, tetapi dunia harus dipandang dalam sensitivitas daya tarik akhirat.

Allah SWT adalah seumpama samudera. Dunia dan manusia adalah daratan. Gelombang yang menyapa pantai adalah utusan atau rasuul dan risaalah berupa Nabi Muhammad Saw dan Al-Qur’an.

Momentum gelombang surut atau kembali ke samudera digambarkan dalam istilah as-saa’ah yang bisa berarti waktu, momentum, saat, Hari Kiamat, dan lain-lain. Nabi Muhammad Saw pernah mengalami momentum kembali ke samudera ketika mengalami peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Saat mencapai Sidratul Muntaha, saat itulah Nabi Muhammad Saw benar-benar kembali. Jadi, ketika Nabi Muhammad Saw kembali ke Makkah, itu bukan momentum kembali dalam konteks as-saa’ah, tetapi lebih berarti memandang dunia dalam sensitivitas daya tarik akhirat atau memandang pergi dalam sensitivitas daya tarik pulang. Seperti orang yang pergi merantau yang selalu berada di dalam sensitivitas daya tarik mudik. Hidup di dunia adalah kenyataan dan sensitivitas lah yang membedakan antara hidup seorang manusia dengan manusia lain. 

Gelombang surut kembali ke samudera juga digambarkan di dalam peristiwa perpindahan arah kiblat (orientasi) yang sebelumnya di Palestina kemudian berpindah ke Makkah. Seperti layangan yang tidak putus, di manapun posisi, apapun aktivitas, bagaimanapun keadaan, sensitivitas tetap harus terjaga ke satu arah, yaitu Allah SWT. Itu adalah sebentuk konsentrasi batin.[]

Editor: AMN

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *