(Refleksi untuk Muktamar DDI XXII)
oleh: Syahrullah Iskandar (Wakil Sekjen Hebitren IndonesiaAnggota Komisi Dakwah MUI Pusat)
Pesantren disebut sebagai agen pembangunan (development agency), karena melakoni peran selaku penggalang suksesnya program pembangunan. Institusi pendidikan yang asli Indonesia ini merupakan kebanggaan bangsa yang memiliki kekuatan daya saing dan daya tahan masyarakat. Sejarah membuktikan besarnya andil pesantren dalam merawat bangsa ini. Nasionalisme masyarakat pesantren memang tidak perlu disangsikan lagi. Tanggal 22 Oktober telah menjadi Hari Santri Nasional sebagai salah satu kado indah bagi warga pesantren. Atas dasar itu, melestarikan pesantren dengan mempertahankan karakteristik kulturalnya beserta dukungan pemangku kepentingan di negara ini terhadapnya menjadi sebuah keniscayaan.
Hasil penelitian Yudha Heryawan Asnawi (2020) memosisikan pesantren sebagai aktor berpengaruh dalam sejarah Indonesia di samping militer, parpol, ilmuwan, LSM, dan konglomerat. Pesantren memiliki akar sejarah kuat yang menghunjam di belantara nusantara. Pesantren berbeda dari selainnya karena memiliki basis massa yang kuat, karena tidak terbatas pada santri yang tengah menuntut ilmu di pesantren, tetapi melibatkan alumni ataupun masyarakat pesantren secara luas. Data jumlah pesantren di tanah air saja sebanyak 34.632, santri sebanyak 4.766.394, sedangkan pengajar dan tenaga kependidikan sebanyak 385.941 (Ditpdpontren Kemenag RI, 2021). Ciri lainnya adalah kultur kerakyatan ketika masyarakat pesantren menjalankan bisnisnya yang semakin mengukuhkan karakteristik kulturalnya.
Kemenag RI memosisikan pesantren tidak lagi sekadar lembaga pendidikan dan lembaga dakwah, tetapi juga sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat. Dengan sejumlah program kerjanya, Kemenag mengintervensi pengembangan pesantren meliputi akses, kualitas, dan sarana-prasarana. Spirit menanamkan kemandirian ekonomi pesantren terbilang besar karena pertimbangan strategisnya di tengah masyarakat. Ketika masyarakat pesantren mampu menangkap peluang itu dengan baik, maka pesantren tidak lagi dipandang ‘sebelah mata’ oleh pihak tertentu yang hanya berharap bantuan untuk menghidupi roda aktivitas pendidikannya, tetapi mampu hidup dan menghidupi masyarakat pesantren. Bukan tidak mungkin gerakan pesantren dengan ekonomi kerakyatannya seperti pengalaman Nahdlatut Tujjar (1918) akan lebih terkontekstualisasi di masa kini. Bahkan, peluang membentuk jejaring ekonomi pesantren sangat mumpuni untuk menjadi aktor ekonomi yang disegani.
Pesantren menjadi bidikan program oleh sejumlah kementerian dan lembaga. Hanya saja, program yang dikucurkan pemerintah masih terkesan bersifat kuratif, sehingga banyak pesantren yang dependentif dengan dana bantuan tersebut. Dana yang diterima tidak dijadikan sebagai stimulan pengembangan ekonomi bisnis pesantren, tetapi lebih bersifat donatif rutin. Ujungnya, pembudayaan kemandirian ekonomi pesantren tidak mengenai sasaran. Realitas tersebut disikapi oleh lembaga semisal Hebitren (Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren) yang berupaya mempererat ukhuwah kepesantrenan dalam menggapai kemandirian ekonomi pesantren. Materi pelatihan dan pembentukan jejaring bisnis pesantren anggotanya diperkuat dengan soft skill secara intensif yang berjejaring. Pengembangan kemandirian ekonomi pesantren memerlukan upaya inovasi, adaptasi, dan kolaborasi. Inovasi yang penulis maksud adalah pengenalan potensi diri dan peluang, kemudian upaya adaptasi dilakukan dengan mengakrabkan diri dengan kemajuan teknologi yang ada demi efektivitas dan daya jangkau yang luas dari program ekonomi yang dilakukan oleh pesantren. Dan tak kalah urgennya, upaya kolaboratif dilakukan secara sinergis dengan jejaring kepesantrenan dan pemangku kepentingan terkait.
Geliat Pesantren DDI
Merespons realitas tersebut, DDI harus lebih meningkatkan lagi geliat kemandirian ekonomi pesantrennya yang banyak tersebar di seantero nusantara. Kesadaran akan ketidakpastian politik dan ekonomi, perubahan peta demografi, dan disrupsi teknologi sejatinya menjadi pelecut pesantren menggalang arus baru ekonomi. Dengan banyaknya pesantren yang dimiliki, bukan tidak mungkin dari rahim DDI terlahir pebisnis ulung, serta institusi pesantren yang berhasil dan menghasilkan secara ekonomi.
Era revolusi industri 4.0 ini meniscayakan pesantren terus dinamis dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman dengan tetap meningkatkan keilmuan pesantren yang sembari menguasai teknologi. Dari situ, pesantren dituntut terus berkontribusi bagi bangsa dengan kreativitas dan inovasi yang dihasilkannya. Kontribusi pesantren jangan lagi dibatasi dengan pengembangan ilmu, tetapi merambat ke bidang ekonomi ala pesantren, sehingga dapat menjadi kekuatan penggerak dalam perkembangan ekonomi keumatan.
Melalui Muktamar DDI XXII yang telah digelar di Samarinda, 22-24 Februari 2022 lalu, DDI diharapkan mampu menatap masa depan yang penuh tantangan. Dinamika internal yang dialami justeru menjadi pelecut untuk memupuk ukhuwah addariyah yang solid membangun kemandirian ekonomi pesantrennya. Selalu ada tantangan dalam berdinamika mengatasi tantangan kekinian, tetapi DDI harus melangkah maju dengan mempertahankan tradisi pesantrennya yang berbasis ulama, namun senantiasa akomodatif dengan perkembangan. Tulisan ini tidak berintensi melihat pesantren DDI sebagai pesantren yang meninggalkan kultur kepesantrenannya yang sudah menghasilkan ribuan alumni yang mumpuni dan berkiprah di varian profesi. Pesantren DDI tetaplah mempertahankan kulturnya, tetapi bergerak lebih cepat untuk bersahabat dengan dinamika perubahan.[]
Jakarta, 21 Februari 2022