Oleh Abdul Muid Nawawi
Di suatu subuh yang teduh, sebuah pengajian berlangsung dengan syahdu. Saat itu, pembahasan sampai kepada tema tentang kada’ dan kadar, salah satu bagian dari Rukun Iman. Demi memudahkan penjelasan, pemateri memberikan perumpamaan untuk kada’ dan kadar dengan contoh speedometer.
Setiap kendaraan memiliki speedometer berbeda. Speedometer mobil tidak sama dengan motor. Bahkan beda jenis mobil bisa berbeda speedometernya dan demikian pula dengan motor. Ada speedometer yang barangkali sampai 160, 200, 200, atau 220. Tinggi rendah speedometer adala perumpamaan kada’. Adapun perumpamaan kadar adalah kemampuan pengendara untuk menggeber kendaraannya hingga batas tertinggi speedometer itu.
Ketika tingkat speedometer dianggap sebagai banyaknya rejeki yang menjadi kada’ seseorang selama hidupnya, maka kemampuan dia untuk mengusahakan rejekinya ibarat menggeber kendaraan tersebut. Namun, sekuat apapun dia menggeber kendaraannya, maka tidak akan bisa melampaui 160 jika memang kada’-nya hanya 160. Namun, ada kemungkinan ada kemungkinan si pengendara hanya mendapatkan rejeki 10 karena malas berusaha walaupun Tuhan sudah memberikan dia fasilitas hingga 160 rejeki.
Jadi, intinya ada batas yang tidak mungkin dilewati karena sudah menjadi ketentuan Tuhan dan ada bagian yang harus diusahakan karena itulah makna dari usaha manusia.
Pada sesi tanya-jawab, seorang jamaah sepertinya cukup tertarik dengan perumpamaan speedometer ini. Lalu, dia bertanya: “Saya bisa memahami apabila ada batas rejeki manusia yang hanya hingga 160 dan tidak sampai 220. Tapi apakah itu juga berlaku nanti di akhirat di mana ada rejeki manusia bernama Speedometer Neraka yang sekuat apapun dia menggeber ibadahnya, dia tetap masuk neraka. Sebaliknya ada manusia yang bernama Speedometer Surga sehingga sejahat apapun dia, pasti ujung-ujungnya masuk surga?”
Mendengar pertanyaan itu, pemateri agak tersentak karena mungkin tidak menduga perumpamaan yang disampaikannya dikaitkan dengan akhirat, padahal awalnya hanya untuk urusan dunia. Namun, pemateri tetap berupaya memberikan jawaban. Menurutnya, perumpamaan speedometer cukup bisa mengantar kepada pemahaman tentang kada’ dan kadar, namun tetap ada perbedaannya. Speedometer dalam perumpamaan tentang kada’ hadir dengan ukuran dan ketentuan yang telah diketahui sebelumnya seperti 160, 200, 200, atau 220. Sesungguhnya kada’ tidak demikian karena kada’ tidak diketahui sebelumnya. Semua itu hanya ada di dalam ilmu Tuhan. Manusia hanya bisa berusaha semaksimal mungkin. Hasilnya neraka atau surga adalah kada’ atau urusan Tuhan.
“Jadi, tidak boleh seseorang mengatakan bahwa tidak perlu ada usaha untuk surga atau neraka karena kada’ Tuhan sudah sedemikian ada?” Penanya melanjutkan pertanyaannya. Menurut pemateri, demikianlah adanya. Tidak melakuan apa-apa dengan keyakinan bahwa kada’ Tuhan sudah ditentukan tidak layak dilakukan karena bukan saja itu berarti sikap apatis, tetapi juga mengurusi hal yang sesungguhnya adalah hanya urusan Tuhan. Lebih daripada itu, sikap tersebut berarti sok tahu terhadap ilmu yang sesungguhnya hanya pada ilmu Tuhan. Kada’ ada dalam ilmu Tuhan semata-mata.
Penjelasan dari pemateri dan pertanyaan dari jamaah memberikanku pemahaman berbeda tentang kada’ dan kadar, dan mencerahkan. Mungkin itu bukan pemahaman terbaik tentang kada’ dan kadar, tetapi tetap saja berguna bagiku. Aku teringat bahwa kada’ dan kadar memang berada di dalam hitungan Rukun Iman. Sebagaimana arti dari iman, maka poin-poin di dalam Rukun Iman pada dasarnya hanya berada di wilayah iman, bukan diskursus. Maksudnya, hanya untuk diimani, bukan untuk didiskusikan. Namun, mana mungkin manusia dihalang-halangi untuk mempertanyakan sesuatu. Manusia terlanjur diberikan akal untuk itu.
Rukun Iman memang sejatinya adalah kepercayaan, tetapi Rukun Iman adalah salah satu pembicaraan paling hangat di dalam sejarah peradaban Islam sehingga melahirkan sebuah disiplin ilmu pengetahuan bernama Ilmu Kalam. Para pemerhati ilmu tersebut dinamai mutakallimuun yang berarti para pendebat atau mereka yang rajin berbicara. Perdebatan mereka ditulis dalam bentuk amat banyak karya buku sehingga memenuhi satu perpustakaan tersendiri. Sebuah kekayaan intelektual yang tidak ternilai harganya. Barangkali itu sudah menjadi kada’ dari Tuhan.[]
Editor: AMN