Oleh Abdul Muid Nawawi
Konon di bulan Ramadhan, setiap pahala dilipatgandakan hingga ada kebaikan yang jika dilakukan akan mendapatkan ganjaran pahala seperti melakukan kebaikan tersebut berkali-kali selama lebih dari seribu bulan. Lalu, buat apa pahala sedemikan banyak itu?
Pahala yang banyak, bagi pelakunya, bisa buat banyak hal. Misalnya, untuk mengimbangi banyaknya dosa atau menghapusnya, untuk mempeberat timbangan amal kebaikan, dan untuk pembuktian sebagai hamba yang baik. Namun, tetap saja pertanyaan lain yang senada memburu. Lalu, buat apa itu semua? Buat apa mengurangi dosa dan buat apa memperberat timbangan amal kebajikan? Hingga muncullah jawaban sesungguhnya: Pahala yang banyak untuk dijadikan alasan masuk surga. Semacam untuk meningkatkan posisi tawar untuk mendapatkan surga.
Problem lain muncul. Ada Hadis Nabi Muhammad Saw yang menyebutkan bahwa bukan pahala yang membuat manusia masuk surga. Kasih-sayang Allah SWT lah yang membuat manusia masuk surga. Itu adalah aturan yang berlaku untuk semua orang. Bahkan kata Nabi, itu berlaku untuk diri beliau sendiri.
Jadi, pertanyaan awal menjadi kembali tidak terjawab. Buat apa pahala sedemikan banyak? Buat apa beramal baik dan beribadah?
Cara berfikir seperti di atas adalah khas pemahaman ibadah transaksional atau ibadah sebagai alat tukar untuk hal lain, misalnya ditukar dengan surga. Banyak celah dalam cara pemahaman seperti itu. Misalnya, jika sebuah transaksi terjadi, maka alat tukar dengan benda yang ditukarkan haruslah setara. Uang Rp 100.000 tentu bukan alat tukar setara dengan emas 100 kilogram. Jangan-jangan nilai ibadah manusia yang sudah dilipatgandakan sedemikian rupa secara keseluruhan hanya seharga Rp 100.000 sedangkan surga yang hendak ditukar seharga emas 100 kilogram. Tentu saja itu adalah transaksi yang merugi. Tidak ada yang mau melakukan transaksi seperti itu.
Celah lain yang ada yaitu bahwa transaksi yang benar adalah bahwa pembeli adalah pemilik sah uang yang hendak dipakai membeli dan penjual adalah pemilik sah barang yang hendak dijual. Jika tidak demikian, maka transaksi yang sesungguhnya tidak terjadi secara sah. Dalam hal pahala ditukar dengan surga, aturan kepemilikan sah itu tidak terjadi.
Jelas surga adalah milik sah Allah SWT seutuhnya. Bagaimana dengan pahala? Apakah itu adalah hak milik sah manusia seutuhnya? Sepertinya tidak. Saat sebuah perbuatan baik terlaksana, misalnya menunaikan zakat, maka harta yang dizakatkan sesungguhnya adalah titipan dari Allah SWT. Niat baik untuk berzakat adalah karunia dari Allah SWT. Yang menunaikan zakat adalah orang beriman dan iman adalah hidayah dari Allah SWT. Dapatkah menunaikan zakat terjadi jika semua itu tidak diizinkan oleh Allah SWT? Tentu saja tidak mungkin. Lalu, pahala perbuatan baik itu sesungguhnya milik siapa? Harus diakui, itu adalah Milik Allah SWT.
Jangankan semua pahala tersebut, manusia ini pun adalah milik Allah SWT. Jadi, surga adalah milik Allah SWT dan pahala yang hendak dipertukarkan dengan surga sesungguhnya adalah milik Allah SWT jua. Lalu, bagaimana mungkin transaksi yang sesungguhnya akan terjadi? Apalagi dalam hal ini, penjual adalah pemilik segalanya. Uang yang ada di tangan pembeli adalah milik penjual. Bahkan diri pembeli itu adalah milik penjual. Bagaimana mungkin pembeli bisa berfikir bahwa dia bisa membeli apa-apa dari penjual? Ini bukan urusan lo jual gua beli, tetapi ini adalah urusan bahwa bahkan diri pribadi pembeli adalah bukan miliknya sendiri.
Kembali kepada pertanyaan awal: Buat apa pahala sedemikan banyak? Buat apa beramal baik dan beribadah? Satu-satunya jawaban yang masuk akal untuk pertanyaan itu adalah: Manusia barbuat baik bukan untuk apa-apa. Manusia berbuat baik karena manusia adalah hamba dan Allah SWT adalah Tuhan.[]
Editor: AMN