Oleh : Abdul Muid Nawawi
Ramadhan adalah sebuah perjalanan panjang dan menantang. Ramadhan bukan perjalanan geografis dari satu tempat ke tampat lain. Ramadhan bukan perjalanan yang bergerak ke luar diri manusia dan menembus alam semesta. Ramadhan adalah perjalanan spiritual, yaitu perjalanan ke dalam diri manusia. Tidak tanggung-tanggung, perjalanan Ramadhan cukup lama. Sebulan.
Perjalanan Ramadhan sesungguhnya adalah perjalanan yang meniti selangkah demi selangkah ke kedalaman jiwa. Karena itulah perjalanan Ramadhan lebih melibatkan keheningan, bukan festival. Di dalam Ramadhan ada Lailatul Qadr yang berarti malam penentuan. Malam adalah simbol keheningan. Ada i’tikaf yang berarti diam dan diam adalah kata lain dari keheningan. Ada shawm yang sinonim dengan imsaak yang berarti menahan diri dan itu juga adalah berarti hening.
Berbeda dengan Rukun Islam yang lain yang lebih menujukkan aktivitas daripada keheningan, ibadah Ramadhan lebih berarti keheningan. Syahadat harus diucapkan dengan lisan dan itu berarti sebuah gerak aktivitas yang perlu disaksikan orang lain. Shalat adalah ritual dengan gerakan dan bacaan dan itu adalah aktivitas. Zakat juga aktivitas karena ada gerakan menyisihkan sebagian harta. Haji apalagi. Itu adalah sebuah aktivitas besar dan kolosal serta melibatkan sangat banyak orang.
Sekali lagi, puasa Ramadhan adalah ibadah yang berbeda. Dalam perbedaannya, menyentuh dua hal. Pertama, titik paling mendasar hubungan manusia dengan manusia dan kedua, titik paling mendasar hubungan manusia dengan Tuhan.
Ketika seseorang didera dengan lapar dan dahaga, maka dia sedang mengalami hal yang paling mendasar di dalam kehidupannya. Barangkali seseorang bisa tidak memiliki rumah dan harus tinggal di bawah kolong langit berhari-hari dan berbulan-bulan berpindah ke sana ke mari dan dia tetap hidup. Tetapi seseorang tidak bisa tidak memiliki sesuatu untuk dimakan dan diminum selama berhari-hari karena itu berarti mati. Di antara sandang, papan, dan pangan, maka pangan adalah hal yang jauh lebih mendasar.
Hubungan manusia dengan manusia diwakili oleh Rukun Islam zakat. Baik zakat, sedekah, infak, maupun waqaf memang berbicara tentang hubungan seorang manusia dengan manusia lain lewat cara saling memberi dan menerima, tetapi puasa Ramadhan memberikan pendasaran mengapa manusia harus menunaikan zakat yaitu lewat pemakanaan terhadap lapar dan dahaga. Itu berarti puasa Ramadhan lebih mendasar daripada zakat, sedekah, infak, dan waqaf itu sendiri.
Hubungan manusia dengan Allah SWT diwakili oleh Rukun Islam syahadat, haji, dan shalat. Namun ketiganya tidak menyentuh apa yang disentuh oleh puasa Ramadhan. Syahadat merupakan deklarasi keislaman. Karena itulah syahadat harus diucapakan dan perlu ada saksi yang mengetahui bahwa seseorang telah bersyahadat. Ada orang lain yang terlibat di dalam syahadat.
Shalat juga adalah semacam deklarasi dan karena itulah diutamakan shalat bersama daripada shalat sendirian, seperti shalat sunnah Idul Fitri yang dilakukan secara berjamaah. Ada orang lain yang terlibat di dalam shalat. Demikian pula haji; juga adalah deklarasi yang melibatkan jutaan orang dari seluruh penjuru dunia. Haji adalah sebuah festival.
Puasa Ramadhan berada pada dimensi yang berbeda. Puasa Ramadhan tidak mengandung deklarasi apalagi festival tapi lebih memilih keheningan. Di situlah istimewanya puasa Ramadhan. Ia mengajarkan salah satu inti hubungan manusia dengan Tuhan, yaitu kerahasiaan dan kata lain dari kerahasiaan adalah keikhlasan.
Puasa Ramadhan adalah ibadah yang hanya melibatkan diri seorang hamba dengan Tuhannya, tidak ada yang lain. Orang yang berpuasa menjaga rahasia lapar dan dahaganya hanya untuk Tuhannya karena orang yang berpuasa tahu tidak mungkin mengelabui Tuhan dengan berpura-pura lapar dan dahaga padahal sesungguhnya tidak berpuasa. Dengan hanya melibatkan Allah SWT dalam ibadah dan bukan yang lain, maka puasa Ramadhan bisa memastikan pelakunya ikhlas.
Pada dasarnya, hubungan manusia dengan Tuhan adalah hubungan rahasia. Kesalihan bisa ditampakkan dalam bentuk pakaian, penampilan, hingga kata-kata yang penuh hikmah. Namun, hanya Tuhan yang mengetahui sejatinya manusia itu baik yang tampak dan yang tersembunyi dan itulah yang diajarkan oleh puasa Ramadhan kepada umat Islam.
Di dalam keheningan dan kerahasiaan itulah manusia menemukan Tuhannya. Puncak penemuan itu adalah tidak ada yang lebih besar daripada Allah SWT. Karena itulah puasa Ramadhan diakhiri dengan Hari Raya Idul Fitri, yaitu sebuah momentum bertakbir dan medeklarasikan kebesaran Allah SWT.
Namun, kekeliruan sering terjadi. Deklarasi kebesaran Allah SWT bukanlah deklarasi keluar kepada orang lain, tetapi deklarasi ke dalam diri sendiri dan untuk diri sendiri. Teriakan Takbir bukan untuk orang lain tetapi untuk diri sendiri.
Kini, Takbir lebih sering dipakai untuk mengerdilkan invidividu lain dan golongan lain; padahal Takbir adalah deklarasi kekerdilan orang yang mengucapkannya, bukan untuk orang yang mendengarkannya. Jika pengucap Takbir mulai merasa bahwa kekerdilan adalah untuk orang lain, maka mulailah dia menegaskan kebesaran dirinya, padahal yang berhak mengerdilkan manusia hanyalah Allah SWT dan yang berhak besar hanyalah Allah SWT. Lalu, takbir pun berubah menjadi takabbur.
Kelanjutan dari semua itu bisa ditebak. Takbir tidak lagi hanya untuk mengerdilkan pihak lain tetapi berlanjut kepada sikap diksriminatif karena merasa lebih dari yang lain, persis yang dilakukan oleh Iblis kepada Nabi Adam as kala mengegaskan perbedaan mereka di dalam QS. al-A’raf/7: 12: Qaala ana khayrun minhu. Khalaqtanii min naarin wa khalaqtahuu min thiin. Dengan sombong Iblis berkata bahwa dia lebih baik dari Adam karena dia tercipta dari api dan Adam dari tanah.
Kelanjutan dari sikap-sikap diskrimatif adalah tindakan aniaya yang dengan tega dilakukan bahkan atas nama kebesaran Allah SWT disertai Takbir. Pada saat itulah agama tidak lebih daripada tunggangan kepentingan-kepentingan dan Takbir malah menjadi simbol perlawanan kepada kebesaran Allah SWT.
Adakah pengkhianatan yang lebih besar daripada simbol-simbol agama yang dipakai untuk melawan misi agama itu sendiri?[]
Editor: AMN