Makassar – Buku Muhammad Adnan Arsal dengan judul “Panglima Damai Poso” dengan penulis Khoirul Anam dibedah Darud Dakwah wal Irsyad (DDI) di Makassar di Hotel Mercure, Jl AP Pettarani Makassar, Rabu (9/2/22).
Ketua Panitia, Fatmawati Hilal mengungkapkan bahwa DDI dengan serius mempersiapkan bedah buku ini karena Muhammad Adnan Arsal yang merupakan Tokok Damai Poso adalah Keluarga DDI yang pernah diajar langsung oleh Anregurutta Ambo Dalle sehingga kami sebagai anaknya merasa sangat bangga dan ingin memberikan kontribusi dan penghargaan kepada orang tua kami.
Penulis buku Panglima Damai Poso, Khoirul Anam mengatakan, tujuan buku ini dibedah di Makassar adalah salah satu apresiasi, karena di Makassar masih minim radikalisme dan terorisme termasuk toleransi bergama masih sangat tinggi. “Kami berharap buku ini bisa menjadi masukan sekaligus inspirasi tentang bahaya aksi ekstrimisme, kemudian juga untuk pencegahan dimasa yang akan datang, ” kata Khoirul Anam.
Saat ini lanjutnya, sedang mengerjakan buku yang kedua, temanya pun berbeda. Buku itu yang sedang ditulis tentang mantan Punggawa ISIS di Syuriah. “Sekarang menjadi salah tokoh yang paling getol melakukan deradikalisasi, terutama terhadap orang-orang yang belum bergabung dengan ISIS dan ada yang indikasi akan kesana, ” lanjutnya
Menurutnya, pihaknya ke sini (Makassar) atas undangan Darud Dakwah Wal-Irsyad (DDI) dan buku ini sudah dibedah dibanyak kota dan tidak menyangka mendapat sambutan yang luar biasa. “Ini murni, karena mungkin kita memiliki kegelisahan yang sama tentang merebaknya ajaran agama yang lebih condong kepada kekerasan dari pada persaudaraan.Jadi saya pikir buku ini terbit di waktu yang tepat, ” ucapnya.
Khoirul Anam menyebut, buku ini hanya menggunakan konsep Poso sebagai latar untuk menjelaskan dualisme beragama. Nilai pokok dalam buku ini adalah pentingnya menjaga perdamaian. Dan kalau konflik sudah ada, itu harus menjaga perdamaian. Disebutkan juga, ada kesulitan sendiri untuk menembus narasumber, mulai dari perbedaan gaya tutur bahasa. Tapi yang paling menantang dari proses buku ini adalah mendapat kepercayaan dari narasumber.
“Mereka bersedih meski bersedia kembali menggali memori buruk yang mereka alami selama konflik dan itu tidak mudah, ” sebutnya.