Beberapa Pemikiran Keagamaan Gurutta Wahab: Mengenang 10 Tahun Kepergian Beliau

Bagikan Manfaat

Oleh: Mayyadah

Saya awali tulisan ini dengan sebuah ‘joke’ dari Gurutta Wahab yang riwayatnya berasal dari murid-murid senior DDI. Di antara sanadnya, berasal dari Ustaz Dr. Sehri (almarhum): Bahwa ketika Gurutta ditanya tentang hukum cadar, Gurutta lantas menggambarkan mengapa wanita-wanita Arab itu banyak yang bercadar. Beliau bercerita: “Dulu waktuku ke Mesir, klo ada 7 perempuan Arab yang jalan, kelihatan jadi 9, karena saking cantiknya. Kamu, orang indonesiako, 7 orangko jalan, belum tentu ada 1 yang kelihatan.”

Read More

Dalam masalah ini, terlihat bagaimana Gurutta berusaha menanamkan dan menyederhanakan pemahaman mengapa dan kenapa sebuah hukum itu ketimbang langsung menjawab apa hukumnya.

Beberapa pemikiran hukum Gurutta Wahab berikut adalah berdasarkan pengalaman saya selama berinteraksi dengan beliau. Pemikiran tersebut adakalanya tidak secara eksplisit diucapkan sebagai “boleh” atau “tidak boleh” oleh Gurutta, tetapi lebih dominan bermuara pada pembacaan saya terhadap praktik keseharian beliau. Oleh karena itu, rangkuman pemikiran ini murni berdasar pada sudut pandang analisis saya.

  1. Gurutta dalam Masalah Pakaian Perempuan.

Gurutta terkenal ketat dalam masalah pakaian perempuan. Itulah sebabnya, semua perempuan yang tinggal dan masuk ke rumah beliau, dipastikan terbiasa berpakaian muslimah. Saya sejak SD sudah dilatih untuk mengenakan baju panjang kalau kami kedatangan tamu. Ketika saya sudah balig, saya dimarahi kalau keluar ke teras tidak memakai jilbab. Begitu pula santriwati atau alumni yang berkunjung, pasti tahu bahwa Gurutta tidak suka perempuan bercelana jeans dan berbaju ketat.

Dalam beberapa ceramahnya, Gurutta seringkali menyindir ibu-ibu dasteran, yang tidak memakai kerudung dan hanya mengenakan cipo’ cipo’ (sejenis penutup kepala yang tidak menutup leher), sehingga ketika menghidangkan teh untuk tamu, leher dasternya turun dan memperlihatkan auratnya. Gurutta juga akan langsung menegur keraas kalau mendapati keluarganya yang memakai kebaya transfaran ke walimahan.

Begitu pula ketika menghadiri undangan mappacci, Gurutta pernah memalingkan pandangannya (duduk menyerong) selama prosesi, karena mempelai wanita berpakaian adat transaran tanpa berjilbab padahal pernah sekolah di Pesantren DDI .

Pemikiran Gurutta tentang masalah jilbab sebenarnya tidak langsung seketat itu. Kalau saya melihat foto-foto ibu saya ketika awal-awal pernikahannya dengan Bapak, maka terlihat ibu saya hanya mengenakan kerudung di mana lehernya kelihatan. Namun saat saya sudah masuk ke pesantren, atau sepertinya sebelum itu, ibu saya sudah dilarang untuk memakai kerudung yang model terbuka. Pun ketika saya menginjak kelas 5 SD, Bapak meminta saya berjilbab ke sekolah, tetapi tidak memaksa ketika saya menolak.

Di sini, saya membaca ada tahapan penerapan hukum Islam dalam keluarga Gurutta itu sendiri. Atau bisa juga disebabkan karena semakin besarnya tanggungjawab dan nama Gurutta di tengah masyarakat, sehingga keluarga beliau mau tidak mau harus menjadi teladan. Oleh karena itu, selain masalah jilbab ini, juga ditemukan perubahan pemikiran beliau secara bertahap dalam masalah hukum yang lain. Dari yang tadinya terkesan longgar di awal pernikahannya, berangsur-angsur menjadi lebih ketat, terutama di akhir-akhir masa hidupnya.

  1. Gurutta dan Masalah Janggut

Semakin usianya sepuh, semakin beliau suka kalau janggutnya panjang. Gurutta membiarkan janggutnya menjuntai sampai menyentuh kerah baju. Beliau juga tidak pernah mewarnai janggutnya yang memutih. Gara-gara itulah, saya biasa ‘bertengkar’ cukup lama hanya untuk mencukur janggutnya.

Pernah suatu ketika, saya siasati, setelah mencukur rambut beliau, saya bilang: “kurapikan janggutta sekalian, nah, karena banyakmi yang putih.” Setelah Gurutta mengiyakan, saya dengan santainya memotong pendek janggutnya. Hahah. Waktu itu saya sengaja tidak pakai cermin sehingga beliau belum sadar. Setelah sampai di kamarnya dan melihat janggutnya “terbabat”, saya pun dimarahi habis-habisan.

Menarik bahwa di setiap perdebatan saya dengan Bapak tentang janggutnya itu, alasan yang dikemukakan beliau selalu sama. “Makarame’ kumalampe’i” jawabnya kalau ditanya.

Makarame’ secara tekstual bermakna keramat, bisa juga bermakna seram. Dalam makna lebih dalam, Gurutta tidak lagi sekedar berjanggut karena Sunnah Nabi, tetapi di sini ada penghayatan tentang berjanggut secara filosofis atau bisa jadi sufistik. Gurutta terkenal memiliki kemampuan yang dalam istilah orang Jawa “kanuragan” dan pengobatan spritual, ini bisa saja ada kaitannya. Bisa juga karena karakter Gurutta yang ‘santai’ saja jika penampilannya semakin terlihat tua.

  1. Bid’ah Selamat Ulang Tahun

Sebelum ke Mesir saya berpesan ke Kanda Dr. Syahrullah, kalau ulang tahun Gurutta tiba, tolong sms semua alumni di Jakarta untuk mengirimkan ucapan ke nomornya Gurutta. Waktu itu belum ada media sosial. Gawai hanya digunakan untuk sms dan telpon saja.

Ketika saya sudah di Mesir, tepat di hari milad beliau, saya menelpon. Tanpa babibu seperti biasa, beliau lantas mengomeli saya: “igasi punna ide ye (siapa lagi yang punya ide macam ini?), iko ga Maya? (kamu, bukan?). Laa ilaaha illallah, Nak, banyak sekali sms masuk ke hapeku dalam satu hari, nda berhenti-berhenti sampai panasmi hapeku. Jangan begitu lagi, bid’ah itu ulangtahun!”

Seumur-umur membersamai beliau, ini pertama kalinya saya mendengar kata ‘bid’ah’ dari Bapak. Waktu itu saya sebagai mahasiswi tingkat satu di Al-Azhar bertanya-tanya, apakah beliau mengatakan bid’ah karena berdasar pemikiran agamanya atau jangan-jangan karena kesal hapenya ‘hang’?

Seingat saya, Bapak bukan orang yang anti merayakan ulangtahun meski tidak pernah membuat acara atau pesta ulangtahun. Ketika menginjak kelas 1 Tsanawiyah, Gurutta mengajak anak-anaknya pergi ke sebuah studio di Takkalasi. Saya pun dijemput dan diminta-izinkan ke pembina pondok. Katanya Gurutta mau foto keluarga. Saat itu saya tanya: “Dalam rangka apaki foto keluarga?” Dan beliau menjawab: “Kemarin tanggal 10 Maret, ulangtahun pernikahannya bapak mama.” Dan itulah foto keluarga saya enam bersaudara dengan Bapak dan Mama yang pertama dan terakhir.

  1. Mahar harus Emas
    Gurutta selalu menganjurkan orang-orang menikah dengan mahar emas. Dan itu pula tradisi mahar di keluarga kami, saya, adik-adik perempuan saya, dan perempuan dari keluarga dekat pun semuanya diberikan mahar berupa emas.

Kemungkinan besar ini adalah intrepetasi Gurutta terhadap ayat “wa aataitum ihdaahunna qinthaaran” (sementara kamu telah memberikan salah satu dari istri-istrimu harta yang banyak). Dalam bahasa Arab, qinthar bisa berarti harta karun atau segudang emas, atau benda yang bernilai tinggi.

Jadi pernah ada peristiwa menarik ketika beliau menikahkan salah satu alumni santrinya. Saat melamarkan, Gurutta telah bersepakat dengan keluarga perempuan bahwa maharnya adalah sebuah cincin emas. Naasnya, jelang ijab kabul, apa karena miskin (saya tahu dia miskin karena Gurutta sendiri yang bilang hehe) atau mungkin lupa, si calon mempelai laki-laki yang tak lain santrinya Gurutta tersebut tidak membawa cincin.

Subhanallah, Gurutta pun dengan sigap berangkat ke pasar setelah minta ditunjukkan toko emas terdekat dan membelikan cincin untuk muridnya itu.

Semoga orang tersebut membaca tulisan ini, karena sampai sekarang saya tidak ingat siapa nama murid Gurutta itu 😀

Bersambung…(dalam arti: sambungannya tidak akan saya posting di medsos karena pemikiran2 selanjutnya lebih kontroversial 🙂

Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=684419689474961&id=100037208096373

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=684419689474961&id=100037208096373

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *